Senin, 04 Januari 2010

STANDAR PENDIDIKAN

Standar Pendidikan Belum Menasional
Rabu, 23 Desember 2009 | 02:45 WIB
sumber Oleh ESTER LINCE NAPITUPULU
Putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi pemerintah soal gugatan ujian nasional mencuat pada akhir tahun ini. Kembali, desakan untuk mengkaji ulang dan menghentikan penyelenggaraan ujian nasional menguat.
Persoalannya bukan sekadar tidak adil karena hasilnya menjadi penentu utama kelulusan siswa dari sekolah. Fokus permasalahan yang ingin ditekankan, seperti putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang selanjutnya diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung No 2596 K/PDT/2008, adalah kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di semua daerah di Indonesia sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan ujian nasional lebih lanjut.
Negara ini sudah mereguk kemerdekaan selama 64 tahun. Namun, ketimpangan kualitas pendidikan antara sekolah negeri dan swasta, perkotaan dan pedesaan, Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa, serta masyarakat kaya dan masyarakat miskin masih menganga lebar.
Kesenjangan kondisi dan kualitas pendidikan itu masih berkutat di persoalan mendasar. Tersedianya guru profesional yang inovatif dan kreatif untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan belum terpenuhi merata di setiap sekolah. Belum lagi sarana dan prasarana pendidikan mendasar, seperti ruangan kelas, perpustakaan, buku pelajaran, dan laboratorium, banyak sekolah yang belum menyediakan.
Bagi kalangan pengamat pendidikan dan masyarakat luas, kesenjangan pendidikan itu bukanlah dijawab dengan pelaksanaan ujian nasional yang menghabiskan dana ratusan miliar rupiah yang tidak jelas tindak lanjutnya bagi sekolah. Masyarakat mendambakan bisa menikmati layanan pendidikan yang tidak diskriminatif, tetapi yang memenuhi standar nasional.
Badan Standar Nasional Pendidikan bersama Departemen Pendidikan Nasional sudah selesai membuat delapan standar pendidikan nasional yang menjanjikan layanan pendidikan prima. Standar pendidikan di setiap sekolah haruslah memenuhi standar sarana dan prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar kompetensi lulusan, serta standar isi, standar proses, standar pengelolaan, standar pembiayaan pendidikan, dan standar penilaian pendidikan yang sudah ditentukan secara nasional.
Mutu pendidikan dasar
Namun, standar pendidikan belum juga menasional di semua sekolah, pemerintah sudah sibuk mengembangkan sekolah-sekolah bertaraf internasional yang juga tak jelas arahnya. Kebijakan yang dinilai hanya menimbulkan kasta-kasta sekolah di tengah belum terujinya hasil pendidikan nasional berkontribusi dalam kemajuan sumber daya manusia Indonesia yang mumpuni pada masa depan.
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh boleh berkilah bahwa yang namanya peningkatan mutu guru, sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi merupakan proses yang terus berlangsung. Pemerintah sedang dalam proses untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan nasional dengan anggaran minimal 20 persen dari APBN.
Namun, bagi masyarakat, proses peningkatan mutu pendidikan yang dikejar pemerintah tidak jelas arahnya, juga terlalu lama sehingga pemerataan pendidikan berkualitas tak kunjung terealisasi dari Sabang hingga Merauke.
Mutu secara sempit dikaitkan dengan pencapaian intelektualitas semata. Padahal, pendidikan juga merupakan proses pembudayaan sikap-sikap baik yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan kehidupan.
Yang terjadi saat ini, sekolah-sekolah kendur dalam pembentukan karakter, menumbuhkan kreativitas dan inovasi. Masalah-masalah kebangsaan seperti nasionalisme dan kecintaan kepada seni budaya bangsa mulai ditinggalkan.
Yang lebih miris, pendidikan dasar bermutu, yang minimal harus dirasakan semua warga negara, belum juga mampu dipenuhi bangsa ini. Pendidikan dasar gratis, yang mestinya diwujudkan pemerintah, dijalankan setengah hati.
Padahal, sebanyak 52,65 persen dari pekerja di negara ini hanya berpendidikan level SD ke bawah. Tanpa pendidikan dasar yang mumpuni, mereka terus dibayangi hidup dalam lingkaran kemiskinan.
Pendidikan dasar kita masih tertatih-tatih mengejar kualitas. Akses pendidikan dasar saja masih bermasalah. Ada sekitar 2,2 juta anak usia wajib belajar yang tidak sekolah, umumnya karena faktor ekonomi.
Dana bantuan operasional sekolah di SD-SMP yang jauh dari ideal lebih terserap untuk gaji guru dan tenaga sekolah honorer. Anggaran untuk mendukung operasional sekolah yang bisa dirasakan siswa menjadi terpangkas.
 
Berdasarkan data Departemen Pendidikan Nasional, pada 2008 tercatat baru 32 persen SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di tingkat SMP sebanyak 63,3 persen. Ruang kelas di SD hampir 50 persen dari 891.594 ruang kelas masuk kategori rusak ringan dan berat.
 
Guru yang dinilai tidak layak mengajar, baik dari segi kualifikasi pendidikan maupun profesionalisme, sebagian besar justru guru di tingkat TK-SD. Tahun lalu tercatat sekitar 88 persen guru TK tak layak dan di tingkat SD sekitar 77,85 persen.
Pengamat pendidikan HAR Tilaar mengatakan, arah kebijakan pendidikan Indonesia ini semakin tidak jelas. Proses belajar yang tercipta mulai tingkat SD mengandung nilai paksaan, menakut-nakuti, dan mengembangkan sikap terabas.
Hak anak untuk berkembang sesuai potensi dan kemampuannya lewat pendidikan sedini mungkin justru semakin terabaikan.
Menurut dia, jika di level SD saja pendidikan berkualitas tidak bisa dicapai, pasti akan berpengaruh pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Lydia Freyani Hawadi, guru besar psikologi pendidikan Universitas Indonesia, berpendapat, pendidikan di Indonesia belum melihat siswa sebagai individu yang unik sehingga perlu pembelajaran yang tidak seragam. Kegagalan pendidikan untuk memahami kebutuhan dan potensi unik setiap siswa itu mengakibatkan kualitas pendidikan yang tidak sesuai harapan. Akibat lebih jauh, daya saing dan kualitas sumber daya manusia Indonesia rendah di dunia internasional.
 
Oleh karena itu, reformasi pendidikan di Indonesia perlu juga meneropong hal-hal yang substansial, yakni peserta didik sebagai subyek. Karakteristik pembelajar yang sangat beragam dari sisi potensi, minat, bakat, motivasi, gaya belajar, budaya, dan ekonomi harus digali lebih mendalam.
Tidak cukup sertifikasi
Sementara itu, komitmen peningkatan kualitas dan profesionalisme guru yang dilaksanakan pemerintah bagi sekitar 2,8 juta guru yang mesti selesai pada tahun 2015 dianggap masih terjebak formalitas. Padahal, kebijakan yang dibutuhkan pendidik adalah adanya pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan.
Ketika Departemen Pendidikan Nasional menetapkan visi 2010-2014 sebagai terselenggaranya layanan prima pendidikan nasional, tersedianya guru yang mumpuni tidak bisa ditawar.
Pendidikan nasional mesti bisa membangun manusia yang berjiwa kreatif, inovatif, sportif, dan wirausaha. Perlu penyelarasan pendidikan dengan kebutuhan dunia usaha dan industri.
Karena itu, tantangan yang mesti segera terjawab adalah menerapkan standar pendidikan nasional tanpa pilih-pilih. Semua anak bangsa mesti menikmati layanan pendidikan yang memenuhi standar nasional.

1 komentar:

khaerizal hakim mengatakan...

Memang untuk memenuhi semua standar pendidikan yang telah di tetapkan oleh departemen pendidikan yang di setiap sekolah haruslah memenuhi standar sarana dan prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar kompetensi lulusan,dll.
Dalam pendidikan pada saat ini semua hal tersebut masih banyak yang belum terealisasi entah karena dukungan pemerintah yang kurang atau semua komponen yang terlibat dalam dunia pendidikan belum mampu memainkan perannya sebagai aktor penting dalam pendidikan belum berjalan semestinya yang dapat menciptakan pendidikan sesuai standar yang dapat menjawab tantangan kehidupan di masa depan.Ingat, Semua Standar pendidikan dibuat untuk memaksimal kan hasil proses pendidikan.
Okelah standar pendidikan di indonesia menurut saya memang belum memenuhi standar,baik sarana dan prasarana pendidikan maupun para aktor pendidik ialah para guru pengajar belum mumpuni.Namun seharusnya semua kekurangan yang ada,dapat ditutupi dengan aspek-aspek yang dapat menetukan hasil proses belajar.
Untuk mengatasi segala kekurangan yang ada pada saat ini agar tercapainya pendidikan yang sesuai standar agar para peserta didik dapat menikmati semua hal-hal yang mencakup kegiatan proses belajar mengajar dan memperoleh hasil yang memuaskan ialah mengoptimalkan peran guru-guru yang kreatif dan inovatif dalam proses kegiatan belajar mengajar. Hal tersebut lantaran guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya. Dengan mengoptimalkan peran guru diharapkan peserta didik mampu memperoleh hasil yang memuaskan yang dapat berguna untuk menjawab tantangan kehidupan selanjutnya setelah proses pendidikan selesai.

Posting Komentar