Senin, 04 Januari 2010

STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN

PENILAIAN DI BIDANG PENDIDIKAN
ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN
Fadjar Shadiq, M.App.Sc
Widyaiswara PPPPTK Matematika
(fadjar_p3g@yahoo.com & www.fadjarp3g.wordpress.com)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Depdiknas, 2005) dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
(Permendiknas) Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan (Depdiknas, 2007) telah ditetapkan. Pada dasarnya, penetapan UU dan Permendiknas tersebut adalah untuk menunjang pencapaian visi pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional yang sudah disepakati adalah untuk mewujudkan suatu sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa dalam memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang akan selalu berubah. Lalu, pertanyaan paling tepat yang dapat diajukan saat ini adalah: "Apakah dengan adanya UU Nomor 14 Tahun 2005 dan Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 maka upaya untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah akan semakin mendekati kenyataan?" Artikel yang merupakan pendapat salah seorang praktisi pendidikan matematika ini akan membahas dua hal yang berkait dengan penilaian di bidang pendidikan di Indonesia, yaitu tentang:
1. lemahnya pelaksanaan prinsip objektif pada penilaian pendidikan, dalam arti telah terjadi ketidakcocokan antara peraturan yang ada dengan pelaksanaannya di kelas dan lapangan,
2. tidak konsistennya pelaksanaan program sertifikasi guru, dalam arti terjadi ketidak-cocokan antara konsep hubungan kompetensi (mutu) guru dan kesejahteraan seperti yang direncanakan pada UU dengan implementasinya di lapangan.
Belajar dari Para Guru Matematika
Sebelum menjadi Widyaiswara PPPPTK Matematika di Yogyakarta, penulis adalah Guru Matematika selama 22 tahun (1978-2000) di salah satu SMA di Kawasan Timur
Indonesia. Di samping itu, pada sebagian waktu tersebut, penulis selama 15 tahun (1983-1998) menjadi Instruktur pada Proyek Pemantapan Kerja Guru (PKG) Matematika
yang di antara tugasnya adalah melatih para guru matematika SMP dan SMA yang selanjutnya diikuti dengan mengunjungi para teman guru tersebut ketika mereka mengajar di kelasnya serta berdiskusi dengan mereka. Sampai saat ini, penulis masih sering berdiskusi dengan para teman guru SD, SMP, SMA dan SMK di saat mereka mengikuti diklat di PPPPTK Matematika; sehingga wajar rasanya jika penulis mengklaim dirinya sebagai praktisi pendidikan.
Pengalaman menarik pertama yang membuka mata hati penulis berkait dengan tingkat objektivitas penilaian pendidikan terjadi pada sekitar tahun 1994-an. Waktu itu penulis
sedang menatar para guru matematika pada acara PKG tentang penilaian. Penulis meminta para peserta untuk membaca hand-out yang sudah diberikan kepadanya pada waktu luang mereka. Di antara isi hand-out tersebut adalah tentang enam prinsip
penilaian berikut:
1. menyeluruh;
2. berkesinambungan;
3. berorientasi pada tujuan;
4. objektif;
5. terbuka
6. bermakna.
Untuk lebih mengaktifkan para peserta, penulis meminta para peserta untuk mendiskusikan, dari 6 prinsip penilaian tersebut di atas, prinsip manakah yang paling sulit dilaksanakan bapak dan ibu guru matematika di kelasnya?ternyata, hampir semua guru atau kelompok bersepakat bahwa prinsip objekif yang paling sulit di laksanakan Kenyataan ini sebenarnya telah membenarkan keyakinan penulis tentang tidak objektifnya pelaksanaan penilaian yang kita lakukan waktu itu dan mungkin juga sampai saat ini. Padahalnya, prinsip objektif menyatakan bahwa penilaian harus mencerminkan hal yang sebenarnya. Tentunya, prinsip objektif sangat penting. Kalau tidak penting, mengapa harus muncul sebagai salah salah satu prinsip dasar penilaian?
Salah satu faktor penyebab ketidak objektifan penilaian adalah adanya budaya katrol nilai. Jika ada guru yang memberi nilai kurang dari 6,00; maka seorang kepala sekolah
akan meminta guru tersebut untuk menguji ulang siswanya. Bukan hanya itu, kepala sekolah akan bertanya kepada para guru yang memberi nilai kurang dari 6 tersebut beberapa contoh pertanyaan berikut: "Nilainya kurang dari 6,00 ya? Kok bisa? Apa anda mengajar tidak sungguh-sungguh sehingga hasilnya kurang dari 6,00?" Hal seperti ini dapat terjadi berulang-ulang. Pada akhirnya, guru tersebut menjadi malas dan memberi nilai 6 atau lebih. Sang kepala sekolah lalu menjadi senang dengan nilai tersebut, si guru juga menjadi tidak repot lagi untuk menguji ulang siswanya; dan yang terakhir, orang tua si siswa senang dan bangga terhadap prestasi anaknya yang mendapat nilai lebih dari 6. Mereka tidak menyadari jika telah terjadi "peninabobokan" hasil pendidikan. Berdasar tambahan pengakuan teman guru dan kepala sekolah yang jujur lainnya dari lapangan yang membenarkan adanya budaya katrol nilai di sekolah, maka dapatlah disimpulkan bahwa angka 6 di rapor tidaklah mesti berarti bahwa 60% dari materi atau kompetensi yang telah di capai si siswa Kebijakan katrol nilai semakin terasa dengan munculnya istilah ‘kualitas’ (mutu) dan kuantitas’ (pemerataan) pendidikan. Kepala Sekolah lalu menyatakan kepada setiap guru yang memberi nilai jelek dengan kata-kata berikut: "Jika ada lima orang siswa yang tidak naik kelas atau tidak lulus, berarti akan ada lima siswa yang terhalang untuk duduk di kelas di bawahnya. Apakah Anda tega jika ada anak Indonesia yang tidak bersekolah?" Tidak ada yang salah dengan ucapan tersebut karena keadaannya memang begitu. Namun akibatnya semakin terasa dengan adanya budaya lembek yang menghinggapi sebagian siswa kita. Kenyataan seperti dipaparkan di atas terjadi sebelum adanya ujian berstandar nasional selama bertahun-tahun; termasuk ketika Ebtanas dilaksanakan. Namun ketika Ebtanas dilaksanakan, penambahan nilainya rata dilakukan kepada setiap siswa. Pada waktu itu, di sela-sela diskusi teman guru matematika, terjadi pernyataan seperti ini: "Jika kita menginginkan nilai matematika para siswa minimal 8,00 maka kita paksa pemerintah dan DPR untuk menetapkan nilai kelulusan para siswa adalah 8,00. Toh pemerintah dan DPR akan takut jika banyak siswa yang tidak lulus sehingga nilai matematika kebanyakan siswa akan dapat disulap dengan mudah sehingga mencapai minimal 8,00." Sebagai akibat langsung dari penilaian dan pengujian yang tidak objektif dan sepertinya hanya untuk formalitas saja, sebagian siswa lalu menjadi tidak tahu bahwa dirinya "tidak tahu" dan sebagian orang tua serta masyarakat tidak tahu bahwa putera-puterinya sesungguhnya ‘tidak tahu’. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa selama penulis menjadi guru, siswa yang malas telah berani mengejek temannya yang rajin, meskipun secara sembunyisembunyi, dengan mengatakan: "Untuk apa belajar sungguh-sungguh, toh kita akan naik kelas dan pasti lulus ujian." Lebih parah lagi, ada segelintir kecil guru yang kurang kuat komitmennya terhadap tugas telah berani berkata kepada teman gurunya yang rajin dengan mengatakan: "Untuk apa mengajar dengan sepenuh hati, toh para siswa akan naik dan lulus juga." Sekali lagi, sampai saat ini, mungkin kita tidak pernah menyadari atau pura-pura tidak menyadari, jika telah terjadi "peninabobokan" di bidang pendidikan. Namun ada teman lain yang lebih keras yang menyatakan bahwa telah terjadi “pembodohan” terhadap sebagian putera-puteri warga bangsa kita. Masalah Tidak Objektifnya Penilaian semakin lama, ketidak objektifan penilaian semakin nampak jelas. Artikel Masrul Latif (2007:25-26) menceriterakan fakta-fakta aktual tentang pelaksanaan Ujian Nasional tahun 2007. Di antaranya:
· tragedi Ngawi di mana seorang Kepala Sekolah yang telah mencuri naskah UN untuk ‘menolong’ siswanya;
· ulah panitia di Sumbawa yang mengirim jawaban UN kepada peserta;
· konspsirasi ala Garut di mana Kepala Sekolah dan teman-temannya memberi jawaban kepada siswanya sekitar 10 menit menjelang ujian;
· kasus komunitas Medan yang melaporkan terjadinya kecurangan pelaksanaan UN;
Beberapa kejadian di atas menunjukkan hanya sebagian kecil puncak gunung es yang tersembul dan terdeksi dari segunung permasalahan pendidikan di Indonesia. Inilah sisa-sisa masa lalu yang masih ada. Lalu, melihat pada beberapa kenyataan seperti yang dilaporkan di atas; seberapa besar ketidak objektifan penilaian pendidikan di Indonesia?
· Mengapa harus takut untuk mengikuti UN?
· Mengapa ada juga siswa yang harus menyerang pengawas UN dari sekolah lain?
· Bukankah POS (SOP) menyatakan bahwa UN harus dilaksanakan secara objektif dan adil?
Pemerintah dan DPR, melalui penetapan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 (Depdiknas, 2005) telah berusaha untuk meningkatkan kualitas dan memberdayakan guru melalui empat program pokok, yaitu:
1. kualifikasi di mana setiap guru harus sudah mengikuti program sarjana atau program diploma empat,
2. kompetensi di mana setiap guru harus memiliki empat kompetensi penting sebagai guru yang meliputi kompetensi pedagogik, kkompetensi kepribadian , kompetensi sosial dan kompetensi profesional yang di peroleh melalui pendidikan profesi pengakuan (sertifikasi) bahwa guru tersebut telah memenuhi persyaratan sehingga dapat dinyatakan telah memiliki keempat kompetensi dimaksud yang harus dilaksanakan secara objektif, transparan dan akuntabel; dan bagi yang sudah diakui telah memiliki keempat kompetensi dimaksud dalam bentuk sertifikat berhak mendapat
3. kesejahteraan yang dinyatakan dalam bentuk tunjangan profesi yaitu tambahan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru tersebut.
4. Sampai di sini tidak ada yang salah.
Penulis juga sangat sependapat bahwa empat aspek tersebut saling berkait antara yang satu dengan yang lain sehingga salah satunya tidak akan mungkin untuk diabaikan.
Namun lucunya, pada perkembangan selanjutnya, tes tertulis dan tes kinerja sangat sedikit porsinya pada proses penilaian sertifikasi tersebut. Sebagian besar porsi penilaian adalah dalam bentuk portofolio. Lalu bagaimana para assessornya yakin tentang penguasaan pengetahuan dan keterampilan mengajar para guru jika porsi untuk tes tertulis dan tes kinerja sangat sedikit? Lalu bagaimana pemerintah dapat meyakinkan orang lain bahwa si guru benar-benar sudah kompeten sehingga memiliki hak untuk mendapat sertifikat, sehingga menjadi kewajiban pemerintah untuk mensejahterakan mereka? Asumsinya, dengan kompetensi yang bagus dan kesejahteraan yang memadai sangatlah diharapkan kinerja para guru akan prima, yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Namun sekali lagi,Bagaimana kita dapat meyakinkann diri kita sendiri apalagi orang lain bahwa guru yang di nyatakan kompeten tersebut sudah benar-benar kompeten jika alat penilaian nya saja masih di ragukan.
Apa langkah kita ?
Di tengah-tengah masyarakat yang penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta sering melakukan praktek premanisme yang menghalalkan segala cara, maka bibit-bibit itu telah merambah ke segala segi kehidupan. Guru sudah kehilangan harkat dan martabat gurunya ketika ia hanya menjadi pelaksana dari apa yang diperintahkan atasan langsungnya ke atas. Diakui atau tidak, bibit-bibit KKN itu telah masuk juga ke bidang pendidikan. Contoh yang paling jelas dan nyata adalah peran kepala sekolah ke atas yang jauh lebih banyak menuju ke arah peran administrasi dan keuangan dibandingkan dengan peran kependidikannya. Ambillah contoh kegiatan-kegiatan di sekolah. Apakah memang benar untuk meningkatkan mutu pendidikan? Yang paling jelas dan gamblang adalah ulah para kepala sekolah yang mencuri naskah UN untuk ‘menolong’ siswanya, apakah memang benar untuk meningkatkan mutu pendidikan siswanya? Seharusnya, tugas utama seorang kepala sekolah adalah membantu gurunya memecahkan masalah yang berkait dengan peningkatan mutu pendidikan di sekolahnya, namun bantuan itu harus sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku serta norma yang ada di masyarakat. Di samping itu, beberapa rombongan pejabat yang datang ke sekolah dan melihat pelaksanaan UN, mungkin saja tidak sempat bertanya dan mungkin juga tidak akan ikut memberikan saran pemecahan permasalahan yang berkait dengan tidak objektifnya penilaian pendidikan nasional di Indonesia.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak objektifnya suatu penilaian pendidikan dan budaya katrol nilai meripakan suatu kesalahan paling besar bangsa ini yang mungkin tidak akan terampuni untuk masadepan bangsa kita.
Di samping itu, kita sudah mengetahui bahwa perangkat atau piranti lunak berupa peraturan sudah ditetapkan pemerintah. Termasuk di dalamnya apa yang disebut dengan istilah POS (SOP). Namun harus diakui tentang lemahnya penerapan peraturan tersebut. Tidak sedikit para pelaksana dan pengelola pendidikan yang melakukan jalan pintas, dengan tidak menaati peraturan yang ada, yang pada akhirnya akan sangat merugikan siswa dan bangsa kita. Namun yang pasti, merubah sikap beberapa sekolah dan kepala
sekolah ke arah yang lebih bersih, berbudaya, akuntabel dan taat hukum tidaklah semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan kepala sekolah yang memiliki kompetensi kepribadian, sosial dan pedagogik yang prima. Idealnya, hanya guru yang benar-benar guru terbaiklah yang dapat menduduki jabatan kepala sekolah. selanjutnya, hanya kepala sekolah yang benar-benar kepala sekolah terbaiklah yang pantas menduduki jabatan pengawas. Alasannya, guru terbaik akan mampu membantu guru dengan memberi saran pemecahan masalah yang ada di kelas yang dialami gurunya, sehingga tepat rasanya untuk diberi kepercayaan dan kehormatan menjadi kepala sekolah. Selanjutya, kepala sekolah terbaik akan mampu membantu kepala sekolah lainnya dengan memberi saran pemecahan masalah yang ada di suatu sekolah; sehingga tepat dan pantas rasanya untuk diberi kehormatan menjadi pengawas. Dengan munculnya kepala sekolah dan pengawas terbaik, diharapkan mutu pendidikan di Indonesia akan semakin baik sejalan dengan berkembangnya waktu. Belajar dari praktek pembelajaran di kelas dan pelaksanaan UN, dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan mutu pendidikan, mau tidak mau, penilaian harus dilakukan mengikuti sembilan prinsip penilaian terbaru (Depdiknas:2007), yaitu: sahih, objektif, adil, terpadu, terbuka, menyeluruh dan berkesinambungan, sistematis, beracuan kriteria dan akuntabel. Karena itu, idealnya, budaya katrol nilai harus benarbenar bersih dari sekolah. Hal ini menjadi tugas utama para kepala sekolah dan harus dibantu dan didukung para pengawas, inspektur atau auditor pendidikan yang berwibawa dan bersih. Dengan diangkatnya kepala sekolah yang merupakan guru terbaik dan pengawas yang merupakan kepala sekolah terbaik; diharapkan prinsip-prinsip penilaian pendidikan yang ditetapkan pemerintah dapat dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, bertahap dan berkesinambungan. Berkait dengan sertifikasi guru, penulis yang bukan pakar penilaian, namun hanya seorang praktisi pendidikan matematika saja sudah merasa ada yang aneh pada proses sertifikasi guru ini; terutama pada cara penilaiannya. Sekali lagi, jika alat ukur sertifikasinya saja sudah diragukan kesahihannya, lalu apa yang dapat diharapkan dari hasilnya? Tidak salah jika ada teman guru yang lalu menyimpulkan bahwa proses sertifikasi kali ini lebih langsung ke arah kesejahteraan dan bukan ke arah kualitas dan kompetensi dahulu baru setelah itu ke arah kesejahteraan para guru sebagaimana yang dituntut undang-undang. Kalau itu yang dikehendaki pemerintah; sebetulnya hal seperti itu sah-sah saja, namun seharusnya sudah direncanakan dengan matang, bertahap dan berencana sejak awal. Dalam kasus sertifikasi guru ini, nampaknya telah terjadi perubahan mendadak di tengah jalan. Kalau memang direncanakan sejak awal bahwa arahnya akan lebih ke kesejahteraan guru, mungkin program yang ada di UU tidak akan seperti itu. Namun paling tidak masih ada harapan bahwa dengan fokus ke kesejahteraan, kita semua berharap bahwa pada masa-masa yang akan datang, dengan kesejahteraan guru yang makin meningkat, akan menarik perhatian para lulusan SMA dengan kualitas menengah ke atas sehingga mereka tertarik menjadi guru dan akan membanjiri LPTK-LPTK ternama di Indonesia. Dalam arti, tidak semua lulusan terbaik SMA akan memilih fakultas favorit seperti kedokteran dan teknik. Namun ada sebagian dari mereka yang memilih LPTK. Sekali lagi, hal yang dilakukan pemerintah seperti itu sah-sah saja. Namun pada proses sertifikasi guru ini, kelihatannya terjadi tarik ulur hebat antara para pengambil keputusan di Jakarta untuk mendahulukan kesejahteraan guru daripada meningkatkan mutu atau kompetensi guru. 
Apa Tantangan Depdiknas?
Penulis sebagai praktisi pendidikan matematika berpendapat dan meyakini bahwa para pengambil keputusan di Jakarta kadang-kadang sepertinya terlalu tergesa-gesa mengambil keputusan. Contoh konkretnya adalah sertifikasi guru. Mencermati pelaksanaan sertifikasi, pertanyaan yang muncul adalah: Apakah sejak awal kita sudah memperhitungkan para guru SD yang belum memiliki kualifikasi sarjana dan diploma empat? Seberapa banyak mereka? Lalu bagaimana dengan guru yang bertugas di kota Kabupaten ke bawah? Seberapa banyak mereka? Bagaimana dengan guru di luar Jawa? Seberapa banyak mereka? Apakah kita sudah memperhitungkan jika hasil sertifikasi menunjukkan bahwa akan banyak guru yang tidak berhak memperoleh sertifikasi?
Apakah tidak akan terjadi kecemburuan di antara para guru? Hal seperti itu sepertinya tidak akan terjadi di negara maju seperti Inggris. Kebijakan pendidikan di Inggris dan negara maju lainnya akan selalu didasarkan pada hasil riset yang tangguh dan memiliki dasar yang sangat kuat untuk berpijak sehingga tidak ada peluang untuk membantah kebenaran isi dan kesahihan kesimpulannya. Penulis tidak tahu, mengapa hal seperti itu tidak terjadi di Indonesia. Kembali ke pertanyaan di awal artikel ini: "Apakah dengan adanya UU Nomor 14 Tahun 2005 dan Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 maka upaya untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah, sebagaimana tercantum pada visi pendidikan, akan semakin mendekati kenyataan?" Berkaca pada pelaksanaan penilaian pada periode-periode sebelumnya, jawabannya sudah sangat jelas, yaitu: "Tergantung pada para pelaksana dan pelaksanaannya di lapangan." Pertanyaan selanjutnya adalah: "Yakinkah kita bahwa peraturan tersebut akan terlaksana di lapangan? Bagaimana caranya meyakinkan diri kita sendiri dan orang lain bahwa peraturan tersebut akan terlaksana di lapangan?"
Selain itu, perubahan yang kita lakukan menurut hemat penulis tidak terlalu mendasar. Ketika terjadi perubahan dari Kurikulum 1994 ke Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) lalu ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sepertinya akan  ada perubahan yang sangat hebat. Padahalnya, seberapa besar sih perubahannya di lapangan? Penulis hanya melihat perubahan tersebut lebih banyak hanya pada peristilahan saja. Tidak ada yang mendasar. Contoh jelasnya adalah enam prinsip penilaian yang tertuang pada Kurikulum 1994 ternyata sudah bertambah menjadi sembilan prinsip penilaian pada Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007. Pertanyaannya, apakah dengan perubahan tersebut akan mengakibatkan adanya perubahan mendasar yang dibutuhkan bangsa ini? Apakah dengan perubahan prinsip penilaian tersebut akan menjadikan proses penilaian pendidikan di Indonesia akan menjadi lebih objektif sesuai dengan tuntutan untuk memenangkan persaingan global dengan bangsa lain  yang akan berlangsung semakin ketat dan keras? Jika pelaksanaan penilaian pendidikan tidak menjadi lebih objektif, lalu apakah visi pendidikan untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah akan semakin mendekati kenyataan? Ataukah kita akan sekali lagi berkata bahwa kita lemah pada pelaksanaan peraturannya? Pada akhirnya memang dibutuhkan kearifan dan kehati-hatian dalam mengarahkan pendidikan kita sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan disegani. Namun sekali lagi, apakah hal seperti itu akan terlaksana jika pemerintah sepertinya terlalu tergesa-gesa mengambil kebijakan dan keputusan, sehingga keputusannya jauh dari kesan mendasar, menyeluruh, berencana dan hati-hati? Mungkin inilah salah satu masalah terbesar yang akan menjadi pekerjaan rumah Depdiknas di masa-masa yang akan datang.
Penutup
Penulis sangat bersyukur dan mendukung adanya BSNP. Salah satu hasil positif yang menggembirakan dari badan tersebut adalah adanya peristilahan yang lebih baku (standar) di dunia pendidikan kita. Harapan selanjutnya, peristilahan yang sudah lebih baku tersebut tidak terlalu dirubah-rubah sehingga peristilahan tersebut menjadi lebih stabil di benak guru. Permasalahan pendidikan kita adalah tidak atau kurang terlaksananya peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan. Contohnya adalah pada tidak objektifnya penilaian baik di sekolah, pada pelaksanaan UN dan juga pada program penyetaraan guru. Di samping itu, kebijakan yang ada terkesan tergesa-gesa diputuskan. Contohnya adalah pada program sertifikasi guru. Undang-undangnya sudah jelas menyatakan bahwa seorang guru berhak mendapatkan kesejahteraan jika ia sudah memenuhi kualifikasi dan sudah mendapat sertifikasi (pengakuan) bahwa ia telah memiliki empat kompetensi yang disyaratkan. Namun pada perjalanan waktu, sepertinya pelaksaaan sertifikasi guru lebih langsung mengarah kepada kesejahteraan guru. Hal ini ditandai dengan terlalu sedikitnya porsi tes tertulis dan tes kinerja. 
Menurut penulis, inilah dua tantangan Depdiknas pada masa kini dan pada masa-masa yang akan datang. Artinya, dua hal tersebut tidak sepantasnya terjadi lagi pada masa-masa yang akan datang. Sangat berat namun mulia. Bukankah kita sudah sepakat untuk berjuang menggapai visi pendidikan yang ada dengan gemilang?

Comment
Tidak objektifnya hasil penilaian suatu hasil proses pembalajaran masih merupakan budaya bagi para guru – guru dan kepala sekolah yang merupakan cara instan untuk menutupi kebobrokan mutu pendidikan mereka sehingga terlihat baik di mata setiap pengamat pendidikan.
Memang UAN merupakan hal mutlak dan tolok ukur untuk keberhasilan pihak sekolah maupun para murid setelah mendapatkan proses pembelajaran. Banyak sekali kasus yang berhubungan dengan para guru dan kepala sekolah yang mencoba menolong siswa nya dalam menghadapi UAN merupakan hal yang tidak di benarkan.
Dalam hal program sertifikasi guru yang menyangkut tentang kompetensi yang di miliki dengan tingkat kesejahteraan guru diharapkan pemerintah melakukan tindakan dengan maksimal agar semua berjalan sesuai rencana yang telah di susun dengan baik.
Kesejahteraan guru memang harus kita utamakan agar para guru bekerja dengan nyaman tanpa memperdulikan hal – hal sepele yang menyangkut soal biaya kehidupan. Jika seorang guru ingin mensejahterakan hidup nya seorang guru harus lulus dan mempunyai sertifikasi yang di lakukan oleh badan pendidikan terkait, menurut saya itu merupakan cara terbaik yang memang harus di lakukan oleh badan pendidikan, yang tidak lulus sertifikasi berarti memang ia tidak mempunyai kompetensi yang sudah di tetapkan.Dalam Melaksanakan sertifikasi seorang guru diharapkan pemerintah memperbanyak tes kompetensi seperti mikro teaching karena yang dibutuhkan seorang sisiwa tidak hanya guru yang pintar untuk dirinya tetapi seorang guru yang mampu mengajar dengan baik dan mampu menyampaikan sebuah materi pelajaran atau mentrasfer ilmu kepada setiap anak didik nya. Banyak sekali terlihat seorang guru yang pintar tetapi ia tidak pandai dalam memanajemen kelas dengan membangun suasana sehingga seorang siswa mampu mengerti apa yang di sampaikan oleh guru tersebut.

1 komentar:

khaerizal hakim mengatakan...

Comment
Tidak objektifnya hasil penilaian suatu hasil proses pembalajaran masih merupakan budaya bagi para guru – guru dan kepala sekolah yang merupakan cara instan untuk menutupi kebobrokan mutu pendidikan mereka sehingga terlihat baik di mata setiap pengamat pendidikan.
Memang UAN merupakan hal mutlak dan tolok ukur untuk keberhasilan pihak sekolah maupun para murid setelah mendapatkan proses pembelajaran. Banyak sekali kasus yang berhubungan dengan para guru dan kepala sekolah yang mencoba menolong siswa nya dalam menghadapi UAN merupakan hal yang tidak di benarkan.
Dalam hal program sertifikasi guru yang menyangkut tentang kompetensi yang di miliki dengan tingkat kesejahteraan guru diharapkan pemerintah melakukan tindakan dengan maksimal agar semua berjalan sesuai rencana yang telah di susun dengan baik.
Kesejahteraan guru memang harus kita utamakan agar para guru bekerja dengan nyaman tanpa memperdulikan hal – hal sepele yang menyangkut soal biaya kehidupan. Jika seorang guru ingin mensejahterakan hidup nya seorang guru harus lulus dan mempunyai sertifikasi yang di lakukan oleh badan pendidikan terkait, menurut saya itu merupakan cara terbaik yang memang harus di lakukan oleh badan pendidikan, yang tidak lulus sertifikasi berarti memang ia tidak mempunyai kompetensi yang sudah di tetapkan.Dalam Melaksanakan sertifikasi seorang guru diharapkan pemerintah memperbanyak tes kompetensi seperti mikro teaching karena yang dibutuhkan seorang sisiwa tidak hanya guru yang pintar untuk dirinya tetapi seorang guru yang mampu mengajar dengan baik dan mampu menyampaikan sebuah materi pelajaran atau mentrasfer ilmu kepada setiap anak didik nya. Banyak sekali terlihat seorang guru yang pintar tetapi ia tidak pandai dalam memanajemen kelas dengan membangun suasana sehingga seorang siswa mampu mengerti apa yang di sampaikan oleh guru tersebut.

Posting Komentar